Sabtu, 24 Juli 2010

TRAGEDI DI UJUNG MALAM

.....       Bunuh! Bunuh mereka semua! Suara itu bergema kembali di telingaku.
Entah sejak kapan suara itu mulai mengusikku. Aku tak tahu. Yang pasti, aku mulai merasa terganggu oleh bisikan-bisikan yang bertentangan dengan nurniku itu.
He…he…he…, kau berusaha menyelidiki aku rupanya. Tak semudah itu anak muda. Semua jiwa yang terperangkap olehku jarang sekali yang mampu melepaskan diri. Usahamu akan sia-sia. Lebih baik kau turuti saja kemauanku, suara itu terdengar lagi. Kali ini dengan nada mengancam.
Kucoba mengabaikan suara-suara yang menggangguku dengan bernyanyi kecil sepanjang jalan menuju rumahku. Sesampainya di rumah aku langsung meletakan bungkusan berisi cairan pembasmi serangga pesanan ayahku di atas meja.
Tadi pagi, sebelum berangkat ke rumah nenek dengan ibu dan adik-adikku, beliau memang menyuruhku membeli barang yang paling tidak kusukai itu.
Sementara itu senja kelabu mulai merangkak mendekati gelap. Dan awan hitam di angkasa tak sanggup menahan keinginan air untuk membentuk hujan yang kemudian jatuh di mataku.
Musim hujan kali ini memang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, seperti membawa kutukan dari langit. Banyak sekali bencana. Dari mulai tanah longsor,banjir, sampai wabah demam berdarah.
Untuk yang pertama dan yang kedua aku tak khawatir, karena rumah yang kutempati bukan berada di daerah dataran tinggi berbukit-bukit, juga bukan di dataran rendah yang rawan banjir.
Yang paling kutakuti saat ini adalah demam berdarah, karena menurut cerita pak Soleh, pemilik warung kelontong tempat aku membeli racun serangga tadi, di kampung ini dalam sebulan sudah dua orang yang menjadi korban keganasannya.
Kuhempaskan tubuhku yang letih di sofa ruang depan rumahku. Kelelahan yang menderaku setelah seharian membersihkan tempat-tempat yang kutenggarai menjadi sarang nyamuk membuat kelopak mataku terasa berat.
Tak kupedulikan lagi satu-dua nyamuk yang menjengkelkan mengigitku. Akhirnya aku pun tertidur. Itu membebaskan diriku dari bisikan-bisikan sialan yang selalu menggangguku.
***
Aku berjalan di tengah padang rumput yang luas sekali. Sejauh mata memandang hanya kehijauan yang membentang, laksana permadani raksasa. Sepertinya padang rumput itu memang tak bertepi.
Aku berjalan terus tanpa mengenal lelah. Yang kurasakan saat itu hanya rasa takjub sekaligus takut. Apalagi saat di benakku muncul bayang-bayang iblis bemuka seram seperti yang sering diceritakan nenek waktu kecil dulu tiap kali aku akan pergi tidur.
Celakanya, ketakutanku menjadi kenyataan. Di kejauhan aku melihat sosok yang makin lama makin sekat, dekat, dan semakin jelas. Sosok hitam legam dengan wajah seekor bunglon.
Rasa takut yang begitu dahsyat memantek diriku saat sosok itu menatap diriku sambil menyeringai memamerkan taring-taringnya yang meneteskan darah. Benar-benar mengerikan.
Aku seperti terhipnotis, menuruti saja kemana langkah kaki iblis itu.
Lalu di suatu tempat yang di kelilingi oleh jurang teramat dalam, tiba-tiba iblis itu menghilang tinggalkan diriku sendirian dicekam ketakutan.
Seiring dengan lenyapnya iblis itu, dari kejauhan terdengar suara berdengung mirip suara ribuan lebah. Dan… jutaan nyamuk menyerbu diriku hingga seluruh tubuhku tertutup oleh banyaknya serangga penghisap darah tersebut. Aku merasa bagai tertusuk ribuan jarum.
Setelah puas menghisap darahku, nyamuk-nyamuk itu serentak, seperti dikomando membawa terbang diriku tinggi sekali, dan kemudian melepaskan diriku. Aku pun meluncur bebas dengan deras kedasar jurang yang gelap itu.
“Brak!”
Aku terjatuh dari sofa.   Untung hanya mimpi, batinku. Tapi tak urung kepalaku berdenyut sakit. Dengan malas aku perlahan bangkit, meraba-raba di kegelapan, mencari tombol lampu. Rupanya keluargaku belum pulang dari rumah nenekku.
***
Malam makin larut. Keheningan terasa kian mencekam. Kulihat wajahku di cermin, nampak pucat dan kurus. Mataku terlihat memerah dan agak mencelong ke alam. Tulang pipiku pun tampak agak menonjol keluar.
Beberapa hari ini aku memang kurang tidur, karena banyak sekali nyamuk yang menggangguku dengan gigitan maupun suara dengungannya. Dan itu membuat selera makanku hilang.
“Tidur, Yan . Sudah malam,” kata ayahku dari kamarnya. Rupanya ayahku terbangun.
“Iya,” jawabku.
Di mana-mana orang tua memang seperti itu, gampang sekali terbangun oleh suara-suara di tengah malam. Tidak seperti adik-adikku yang kini bergeletakan beralas tikar di hadapanku.
Memang untuk ukuran keluarga besarku yang berjumlah sebelas orang, rumahku termasuk sempit. Hanya ada dua kamar tidur. Yang satu ditempai oleh kedua orang tuaku, dan kamar yang satunya lagi ditempati oleh ke-empat adik perempuanku. Terpaksa, sebagai anak laki-laki, aku dan ke empat adikku mengalah, tidur di ruang tamu.
Kulihat Pusy, kucing kesayanganku, bergelung di antara kaki Andre, adik bungsuku yang berumur lima tahun. Tidurnya terlihat nyenyak sekali. Mungkin karena hangat.
Aku memang penyayang binatang. Aku paling tidak tega meyakiti atau melihat binatang menderita, terutama kucing. Maka kubiarkan Pusy tidar bersama kami.
Kurebahkan tubuhku di samping Pusy, sambil berharap dapat tidur nyenyak dengan mimpi yang indah. Tapi tiap kali kupejamkan mataku malah terasa pedih.
Ah, ini semua gara-gara rumah yang baru kutempati beberapa hari ini. Banyak lubang-lubang yang belum semuanya tertutup. Jendela belum dipasangi kaca, baru hanya ditutup denag dua buah papan. Mungkin itulah biang keladi dari semua ini.
Bunuh! Bunuh mereka semua! Suara itu lagi-lagi terngiang di telingaku, lebih halus, lebih lembut, tapi sekaligus semakin menikam hatiku.
Tidak! Nuraniku berontak berusaha melepaskan diri dari bisikan-bisikan laknat tersebut.
Mereka telah menyakitimu, Bodoh! Suara itu menghardikku.
Aku memandang adik-adikku yan tidur dengan gelisah. Malam ini memang lain dari biasanya. terasa agak gerah. Mungkin akan turun hujan.
Kasihan mereka, batinku.
Peduli setan! Maki suara itu.
Pergi kau, haram jadah! Aku muak dengan ocehanmu! Nuraniku meradang. Tapi suara itu malah tertawa mengejekku.
Sudahlah, apa lagi yang kau tunggu. Bunuh saja mereka. Toh, mereka tidak menguntungkan bagimu, suara itu membujuk.
Tapi mereka mahluk-mahluk Tuhan. Aku tak mau membantai mahluk-mahluk Tuhan.
Bodoh! Suara itu menyela. Inilah saat yang tepat untuk mengakhiri penderitaanmu, anak muda.
Tidak! Mereka berhak hidup seperti diriku. Memang, aku kecewa karena mereka selalu menggangguku. Tapi… tidak! Aku tidak mau, dan tak akan pernah mau.
Harus! Kau harus membunuh mereka. Kalau tidak, kau yang akan celaka.
Perang dahsyat yang berkecamuk di dalam hatiku sejak beberapa hari yang lalu itu berakhir dengan mengenaskan. Hatiku kalah berperang. Akhirnya dengan terpaksa aku bangkit, meraih botol racun serangga.
Di malam yang dingin dan mencekam itu, dengan air mata berlinang aku memulai aksi pembantaian. Demi satu alasan, untuk menghindari demam berdarah.
Satu demi satu nyamuk itu mati… padahal aku penyayang binatang.
Depok, 24 Juli 2010

2 komentar:

dhebismiLLah mengatakan...

luar biasa kata-katanya....

DheBismiLLah mengatakan...

bagaimana mengatasi agar wanita bisa nyaman sama kita walau doi lum kenal kita sepenuhnya dan sebaliknya kita juga lum kenal doi...