Sabtu, 31 Juli 2010

sebuah cerpen yang kutulis disaat aku kesakitan karena cinta yang terkekang


HARI TERKUTUK

“Kau tahu apa yang paling kunikmati dalam hidup ini?” tanya laki-laki bengis itu dengan rahang bergemeletuk. “Bukan seks, Nona! Tapi bau khas keringat orang yang tengah sekarat!”
            “Kau iblis!” desis Murni sambil melengos menghindari belaian tangan di wajahnya.
            “Ha…ha…ha…,” laki-laki itu tergelak mendengar makian Murni. Tapi hanya sekejap, seterusnya wajah itu kembali dingin, sedingin tatapan matanya yang membuat Murni merinding.
“Aku suka dengan makianmu,” desisnya di telinga Murni.
Murni ingin sekali menangis, tapi sepertinya air matanya pun takut menampakan diri di hadapan laki-laki itu. Oh, Tuhan, kenapa kau kirim iblis ini kepadaku? Apa salahku? Separah inikah akibat dari keisenganku? tanya hatinya.
Awalnya memang hanya karena sipat iseng Murni. Ia yang suka mengganggu orang, malam itu melihat laki-laki yang kini ada di hadapannya, dengan langkah mencurigakan tegah menenteng sesuatu yang terlihat berat. Mulanya Murni tak mempedulikan, tapi sipat ingin tahunya mendorongnya untuk sekedar mengetahui apa yang tengah dilakukan laki-laki itu di halaman sebuah rumah kebun.
Mengendap-endap ia ikuti laki-laki yang sepertinya menyadari bila ada yang memperhatikan gerak-geriknya. Sampai akhirnya di balik semak-semak taman dia kehilangan jejak. Hanya itu yang ia tahu, selebihnya dunia terasa gelap. Dan ketika tersadar, ia dapati dirinya dengan kaki dan tangan terikat rantai yang digembok ke bangku kayu. Belakang kepalanya berdenyut sakit.
Ia kini telah berada di sebuah ruangan yang nampak seperti ruang tamu. Matanya menyapu ke sekeliling, hinggap di sebuah potret seorang lelaki yang tergantung di dinding, hinggap di tiap sudut barang yang tertata rapih, dan… hinggap di sosok wajah yang begitu dekat dengan wajahnya.
Seringai yang teramat dekat di wajahnya membuat Murni terhenyak, kaget luar biasa. Entah dari mana munculnya laki-laki yang kini ada di sampingnya itu.
“Kau nampak keget, anak manis? Atau mungkin takut? Jangan biarkan rasa takut hinggap lama-lama di benakmu, sebab itu bisa merusak jiwa, bukan begitu?”
“A, apa maumu? Di mana aku? Kenapa kakiku dirantai? Apa salahku?”
“Kau ingin aku menjawab semua pertanyaan itu? Baiklah,” laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke wajah Murni. Begitu dekat, hingga Murni merasakan panasnya napas yang terhembus dari hidung laki-laki itu. Murni merasa dirinya bagai makanan melihat cara laki-laki itu mengendus-endus wajah dan kepalanya. Murni bergidik membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya.
“Kau berada di rumahku. Kau ’aman’ di sini. Kedua, aku takut bila tidak dirantai kau akan pergi meninggalkan aku sendiri. Yang ketiga, kau terlalu banyak tahu. Oh ya, untuk pertanyaan yang pertama aku belum punya jawabannya. Banyak sekali pilihan untuk dirimu, Nona.”
Pria itu mengambil bangku kayu di sampingnya, meletakannya di hadapan Murni, dan duduk sambil meletakan minuman kaleng di atas meja. Tiba-tiba ia bangkit.
“Aku punya sesuatu yang menarik. Aku rasa kau akan menyukainya,” pria itu berjalan  ke sebuah kamar. Beberapa saat kemudian ia keluar dengan dua buah album foto di tangannya.
“Coba kau lihat yang ini, Nona.” Album itu diletakan di pangkuan Murni. Dan ketika album itu dibuka, Murni mendadak merasa mual, kepalanya berdenyut sakit menyaksikan foto-foto mengerikan di hadapannya dibuka  satu demi satu. foto korban pembantaian dengan berbagai macam pose.
“Coba lihat yang ini,” pria itu bersemangat sekali menunjukan foto demi foto seperti menunjukan potret kenangan pernikahan. “Aku suka sekali dengan yang ini. Aku sukar sekali menghabisi nyawanya. Dia memberikan perlawanan yang cukup membuatku kewalahan. Tapi akhirnya dia harus mengakui keunggulanku. Coba perhatikan kampak yang tertancap di kepalanya. Aku habisi dia dengan bacokan mematikan.”
Murni sudah tak mampu lagi mendengar semua yang diucapkan laki-laki itu. Jiwanya terguncang membayangkan bagaimana manusia-manusia itu mati dengan cara yang mengerikan.
Oh Tuhan, orang gila macam apa dia, membunuh begitu banyak manusia? Apa motivasinya? Untuk kesenangankah? Bila iya, Ibu macam apa yang telah melahirkan iblis ini? Batin Murni.
“Mengapa, Nona, kau takut? Ya, aku melihat sinar ketakutan di matamu. Aku suka sinar di matamu itu, Nona. Seperti kelinci yang terpojok oleh harimau.”
Ya, Murni memang merasa takut sekali. Bagaimana tidak takut, sendiri di sebuah rumah dengan tangan dan kaki terikat rantai, bersama pria gila. Murni memang dibiasakan untuk tidak mudah takut terhadap apa pun oleh orang tuanya. Tapi, wanita mana yang sanggup menghadapi teror psikologis seperti yang tengah dialaminya kini? Wonder Women! Ya, mungkin hanya Wonder Women sajalah yang mampu menghadapi keadaan seperti ini. Tapi itu pun hanya ada di film, bukan di dunia nyata.
“Oke, kita mulai dari awal,” pria itu menatap tajam ke manik-manik mata Murni. “Apa maksudmu menguntitku? Jawab yang jujur. Aku paling suka menguliti pembohong!” desisnya
Murni tidak mendengar nada main-main dalam ucapan pria itu. Dan memang tidak tampak ada rasa belas kasihan sedikit pun di mata itu. “Semalam aku hanya iseng. Sungguh, semalam aku ingin membeli martabak, tetapi ketika melewati rumah itu aku melihat kamu membawa bungkusan besar. Karena ingin tahu, aku mengikutimu.”
“Siapa namamu?”
“Murni.”
“Nama yang bagus. Aku suka denganmu. Kau sepertinya memiliki keistimewaan yang rasanya tidak dimiliki oleh korban-korbanku yang lain,” ujar pria itu. Ia lantas mengambil minuman kaleng yang ada di atas meja untuk kemudian meminumnya.
“Kau mau minum? Jangan tolak tawaranku. Karena aku hanya sekali menawarkan.”
Murni ingin menolak, tapi rasa haus memang sudah menderanya sejak malam tadi. Pria itu berjalan menuju kulkas.
Murni memandangi sosok atletis itu. Apa yang membuatnya menjadi pembunuh sadis? Padahal sebagai manusia ia sempurna sekali. Wajah tampan yang mirip Antonio Banderas, dengan mata yang tajam dan tubuh yang atletis, ditambah dengan kekayaan. apalagi yang kurang dalam hidupnya? Apa, apa, dan apa begitu banyak di benak Murni.
Murni tergagap ketika disodorkan minuman kaleng yang sudah dibuka lengkap dengan sedotannya. “Minumlah, aku ingin istirahat sebentar. Jangan coba-coba membuat keributan!” Ancamnya sambil meletakan minuman itu di pinggir meja .Maksudnya agar murni mudah menjangkau dengan mulutnya. lantas dia berlalu meninggalkan Murni.
***   
Rumah megah dengan arsitektur bergaya Spanyol itu tampak asri dari kejauhan. Pintu gerbang elektronik dengan pembuka dan penutup menggunakan remot control, halaman luas dan teduh yang banyak ditumbuhi bunga-bunga yang tertata rapih, dengan kolam renang di tengah-tengahnya membuat rumah itu nyaman dan indah. Sebuah rumah impian kebanyakan para penghuniu planet ini.
Tapi siapa sangka ‘surga’ itu di huni oleh seorang iblis penjagal manusia. Dan kini tengah berlangsung penyiksaan Psikologis---atau bahkan fisik di sana.
Murni merasakan seluruh tubuhnya pegal-pegal karena tidur sambil duduk dengan kedua tangan dan kaki terbelenggu. Ia berharap semua yang dialaminya hanyalah sebuah mimpi buruk yang akan segera sirna bila ia bangun dari tidurnya. Tapi ia dapati dirinya mengalami semua semalam. Semua nyata adanya.
Oh, Tuhan, tolonglah hambaMu ini. Lepaskanlah aku dari iblis yang satu ini. Aku berjanji untuk menjadi orang yang taat beribadah bila lolos dari neraka ini, batinnya.
“Selamat pagi, Murni,” lamunan Murni buyar oleh sapaan halus tersebut. “Kita akan membuat sarapan lezat pagi ini. Kau tentu lapar setelah malam yang melelahkan.Kau tentu juga bertanya-tanya kenapa rumah sebesar ini Cuma aku yang menempati. Memang aku Cuma sendiri. Pembantu-pembantuku selalu aku liburkan bila aku sedang ingin bersenang-senang”
Mereka berdua sarapan tanpa banyak bicara. Tak ada tanda-tanda laki-laki itu akan membunuh atau melepas murni.
“Aku akan berangkat kerja. Jangan coba-coba lari dari tempat ini karena tiga anjingku akan menjagamu di sini. Mereka tidak segan mencabik-cabik tubuh mulusmu. Ingat itu!” laki-laki itu lantas bersiut nyaring. Beberapa saat kemudian munculah monster-monster bermoncong. “Jaga wanita ini anak-anak!”
***      
Sore yang kelabu bagi Murni. Tubuhnya yang lemah dan teror psikologis yang diterimanya  membuat ia semakin kehilangan semangat hidupnya. Jam  5;30 laki-laki itu baru pulang dari tempat kerjanya. Setelah mandi ia menyiapkan makanan untuk mereka berdua. Kali ini Murni makan dengan menggunakan kedua tangannya yang sudah dilepaskan oleh laki-laki tersebut.
“Makanlah yang banyak, karena ini adalah hari terakhirmu menikmati makanan. Tadi di tempat kerja aku mendapat ide bagaimana cara menghabisimu.” Laki-laki itu berkata tanpa ekspresi.
Murni bergidik mendapat tatapan dari laki-laki itu.
“Aku memang menikmati bau keringat orang-orang yang sekarat, tapi seks pun menyenangkan bagiku.” Murni paham ke mana arah pembicaraan laki-laki itu. “Biar lebih indah, lebih baik kau mandi dulu, Murni.”
Dengan paksa Murni diseret ke kamar mandi. Ia dengan ditonton laki-laki itu akhirnya mandi. Tak sedikitpun Ia mengeluarkan suara. Ia sudah seperti mayat hidup. Emosinya seakan mati setelah apa yang dialaminya semalam. Setelah selesai mandi Murni dibawa ke salah satu kamar.
“Duduklah!” perintah laki-laki itu sambil mengunci pintu kamar. “Aku tidak bernapsu bermain cinta dengan ‘kedebong pisang’. Jadi lakukanlah perlawanan semampumu, Nona. Aku akan bergembira sekali.”
Murni hanya pasrah ketika laki-laki itu menggumulinya dengan bernapsu sekali. Laki-laki itu tak menyisakan sedikitpun, meski itu hanya setitik harapan. Terbayang di matanya wajah orang-orang yang dicintainya, Ayahnya, Ibunya, adiknya, juga kekasihnya yang pasti sedang panik karena dia tak jua pulang….
Tak ada gunanya lagi hidup ketika sesuatu yang sangat barharga direnggut paksa.
“Hidup tak selalu sesuai dengan keinginan kita. Tak selalu perlu ada kebetulan dan keajaiban di akhir sebuah cerita…” Kalimat dari dosen filsafatnya itu terngiang kembali di telinganya.
Satu tahun kemudian ada berita menghebohkan: DITEMUKAN  KUBURAN MASSAL DI RUMAH KEBUN

Tidak ada komentar: