Sabtu, 31 Juli 2010

sebuah cerpen yang kutulis disaat aku kesakitan karena cinta yang terkekang


HARI TERKUTUK

“Kau tahu apa yang paling kunikmati dalam hidup ini?” tanya laki-laki bengis itu dengan rahang bergemeletuk. “Bukan seks, Nona! Tapi bau khas keringat orang yang tengah sekarat!”
            “Kau iblis!” desis Murni sambil melengos menghindari belaian tangan di wajahnya.
            “Ha…ha…ha…,” laki-laki itu tergelak mendengar makian Murni. Tapi hanya sekejap, seterusnya wajah itu kembali dingin, sedingin tatapan matanya yang membuat Murni merinding.
“Aku suka dengan makianmu,” desisnya di telinga Murni.
Murni ingin sekali menangis, tapi sepertinya air matanya pun takut menampakan diri di hadapan laki-laki itu. Oh, Tuhan, kenapa kau kirim iblis ini kepadaku? Apa salahku? Separah inikah akibat dari keisenganku? tanya hatinya.
Awalnya memang hanya karena sipat iseng Murni. Ia yang suka mengganggu orang, malam itu melihat laki-laki yang kini ada di hadapannya, dengan langkah mencurigakan tegah menenteng sesuatu yang terlihat berat. Mulanya Murni tak mempedulikan, tapi sipat ingin tahunya mendorongnya untuk sekedar mengetahui apa yang tengah dilakukan laki-laki itu di halaman sebuah rumah kebun.
Mengendap-endap ia ikuti laki-laki yang sepertinya menyadari bila ada yang memperhatikan gerak-geriknya. Sampai akhirnya di balik semak-semak taman dia kehilangan jejak. Hanya itu yang ia tahu, selebihnya dunia terasa gelap. Dan ketika tersadar, ia dapati dirinya dengan kaki dan tangan terikat rantai yang digembok ke bangku kayu. Belakang kepalanya berdenyut sakit.
Ia kini telah berada di sebuah ruangan yang nampak seperti ruang tamu. Matanya menyapu ke sekeliling, hinggap di sebuah potret seorang lelaki yang tergantung di dinding, hinggap di tiap sudut barang yang tertata rapih, dan… hinggap di sosok wajah yang begitu dekat dengan wajahnya.
Seringai yang teramat dekat di wajahnya membuat Murni terhenyak, kaget luar biasa. Entah dari mana munculnya laki-laki yang kini ada di sampingnya itu.
“Kau nampak keget, anak manis? Atau mungkin takut? Jangan biarkan rasa takut hinggap lama-lama di benakmu, sebab itu bisa merusak jiwa, bukan begitu?”
“A, apa maumu? Di mana aku? Kenapa kakiku dirantai? Apa salahku?”
“Kau ingin aku menjawab semua pertanyaan itu? Baiklah,” laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke wajah Murni. Begitu dekat, hingga Murni merasakan panasnya napas yang terhembus dari hidung laki-laki itu. Murni merasa dirinya bagai makanan melihat cara laki-laki itu mengendus-endus wajah dan kepalanya. Murni bergidik membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya.
“Kau berada di rumahku. Kau ’aman’ di sini. Kedua, aku takut bila tidak dirantai kau akan pergi meninggalkan aku sendiri. Yang ketiga, kau terlalu banyak tahu. Oh ya, untuk pertanyaan yang pertama aku belum punya jawabannya. Banyak sekali pilihan untuk dirimu, Nona.”
Pria itu mengambil bangku kayu di sampingnya, meletakannya di hadapan Murni, dan duduk sambil meletakan minuman kaleng di atas meja. Tiba-tiba ia bangkit.
“Aku punya sesuatu yang menarik. Aku rasa kau akan menyukainya,” pria itu berjalan  ke sebuah kamar. Beberapa saat kemudian ia keluar dengan dua buah album foto di tangannya.
“Coba kau lihat yang ini, Nona.” Album itu diletakan di pangkuan Murni. Dan ketika album itu dibuka, Murni mendadak merasa mual, kepalanya berdenyut sakit menyaksikan foto-foto mengerikan di hadapannya dibuka  satu demi satu. foto korban pembantaian dengan berbagai macam pose.
“Coba lihat yang ini,” pria itu bersemangat sekali menunjukan foto demi foto seperti menunjukan potret kenangan pernikahan. “Aku suka sekali dengan yang ini. Aku sukar sekali menghabisi nyawanya. Dia memberikan perlawanan yang cukup membuatku kewalahan. Tapi akhirnya dia harus mengakui keunggulanku. Coba perhatikan kampak yang tertancap di kepalanya. Aku habisi dia dengan bacokan mematikan.”
Murni sudah tak mampu lagi mendengar semua yang diucapkan laki-laki itu. Jiwanya terguncang membayangkan bagaimana manusia-manusia itu mati dengan cara yang mengerikan.
Oh Tuhan, orang gila macam apa dia, membunuh begitu banyak manusia? Apa motivasinya? Untuk kesenangankah? Bila iya, Ibu macam apa yang telah melahirkan iblis ini? Batin Murni.
“Mengapa, Nona, kau takut? Ya, aku melihat sinar ketakutan di matamu. Aku suka sinar di matamu itu, Nona. Seperti kelinci yang terpojok oleh harimau.”
Ya, Murni memang merasa takut sekali. Bagaimana tidak takut, sendiri di sebuah rumah dengan tangan dan kaki terikat rantai, bersama pria gila. Murni memang dibiasakan untuk tidak mudah takut terhadap apa pun oleh orang tuanya. Tapi, wanita mana yang sanggup menghadapi teror psikologis seperti yang tengah dialaminya kini? Wonder Women! Ya, mungkin hanya Wonder Women sajalah yang mampu menghadapi keadaan seperti ini. Tapi itu pun hanya ada di film, bukan di dunia nyata.
“Oke, kita mulai dari awal,” pria itu menatap tajam ke manik-manik mata Murni. “Apa maksudmu menguntitku? Jawab yang jujur. Aku paling suka menguliti pembohong!” desisnya
Murni tidak mendengar nada main-main dalam ucapan pria itu. Dan memang tidak tampak ada rasa belas kasihan sedikit pun di mata itu. “Semalam aku hanya iseng. Sungguh, semalam aku ingin membeli martabak, tetapi ketika melewati rumah itu aku melihat kamu membawa bungkusan besar. Karena ingin tahu, aku mengikutimu.”
“Siapa namamu?”
“Murni.”
“Nama yang bagus. Aku suka denganmu. Kau sepertinya memiliki keistimewaan yang rasanya tidak dimiliki oleh korban-korbanku yang lain,” ujar pria itu. Ia lantas mengambil minuman kaleng yang ada di atas meja untuk kemudian meminumnya.
“Kau mau minum? Jangan tolak tawaranku. Karena aku hanya sekali menawarkan.”
Murni ingin menolak, tapi rasa haus memang sudah menderanya sejak malam tadi. Pria itu berjalan menuju kulkas.
Murni memandangi sosok atletis itu. Apa yang membuatnya menjadi pembunuh sadis? Padahal sebagai manusia ia sempurna sekali. Wajah tampan yang mirip Antonio Banderas, dengan mata yang tajam dan tubuh yang atletis, ditambah dengan kekayaan. apalagi yang kurang dalam hidupnya? Apa, apa, dan apa begitu banyak di benak Murni.
Murni tergagap ketika disodorkan minuman kaleng yang sudah dibuka lengkap dengan sedotannya. “Minumlah, aku ingin istirahat sebentar. Jangan coba-coba membuat keributan!” Ancamnya sambil meletakan minuman itu di pinggir meja .Maksudnya agar murni mudah menjangkau dengan mulutnya. lantas dia berlalu meninggalkan Murni.
***   
Rumah megah dengan arsitektur bergaya Spanyol itu tampak asri dari kejauhan. Pintu gerbang elektronik dengan pembuka dan penutup menggunakan remot control, halaman luas dan teduh yang banyak ditumbuhi bunga-bunga yang tertata rapih, dengan kolam renang di tengah-tengahnya membuat rumah itu nyaman dan indah. Sebuah rumah impian kebanyakan para penghuniu planet ini.
Tapi siapa sangka ‘surga’ itu di huni oleh seorang iblis penjagal manusia. Dan kini tengah berlangsung penyiksaan Psikologis---atau bahkan fisik di sana.
Murni merasakan seluruh tubuhnya pegal-pegal karena tidur sambil duduk dengan kedua tangan dan kaki terbelenggu. Ia berharap semua yang dialaminya hanyalah sebuah mimpi buruk yang akan segera sirna bila ia bangun dari tidurnya. Tapi ia dapati dirinya mengalami semua semalam. Semua nyata adanya.
Oh, Tuhan, tolonglah hambaMu ini. Lepaskanlah aku dari iblis yang satu ini. Aku berjanji untuk menjadi orang yang taat beribadah bila lolos dari neraka ini, batinnya.
“Selamat pagi, Murni,” lamunan Murni buyar oleh sapaan halus tersebut. “Kita akan membuat sarapan lezat pagi ini. Kau tentu lapar setelah malam yang melelahkan.Kau tentu juga bertanya-tanya kenapa rumah sebesar ini Cuma aku yang menempati. Memang aku Cuma sendiri. Pembantu-pembantuku selalu aku liburkan bila aku sedang ingin bersenang-senang”
Mereka berdua sarapan tanpa banyak bicara. Tak ada tanda-tanda laki-laki itu akan membunuh atau melepas murni.
“Aku akan berangkat kerja. Jangan coba-coba lari dari tempat ini karena tiga anjingku akan menjagamu di sini. Mereka tidak segan mencabik-cabik tubuh mulusmu. Ingat itu!” laki-laki itu lantas bersiut nyaring. Beberapa saat kemudian munculah monster-monster bermoncong. “Jaga wanita ini anak-anak!”
***      
Sore yang kelabu bagi Murni. Tubuhnya yang lemah dan teror psikologis yang diterimanya  membuat ia semakin kehilangan semangat hidupnya. Jam  5;30 laki-laki itu baru pulang dari tempat kerjanya. Setelah mandi ia menyiapkan makanan untuk mereka berdua. Kali ini Murni makan dengan menggunakan kedua tangannya yang sudah dilepaskan oleh laki-laki tersebut.
“Makanlah yang banyak, karena ini adalah hari terakhirmu menikmati makanan. Tadi di tempat kerja aku mendapat ide bagaimana cara menghabisimu.” Laki-laki itu berkata tanpa ekspresi.
Murni bergidik mendapat tatapan dari laki-laki itu.
“Aku memang menikmati bau keringat orang-orang yang sekarat, tapi seks pun menyenangkan bagiku.” Murni paham ke mana arah pembicaraan laki-laki itu. “Biar lebih indah, lebih baik kau mandi dulu, Murni.”
Dengan paksa Murni diseret ke kamar mandi. Ia dengan ditonton laki-laki itu akhirnya mandi. Tak sedikitpun Ia mengeluarkan suara. Ia sudah seperti mayat hidup. Emosinya seakan mati setelah apa yang dialaminya semalam. Setelah selesai mandi Murni dibawa ke salah satu kamar.
“Duduklah!” perintah laki-laki itu sambil mengunci pintu kamar. “Aku tidak bernapsu bermain cinta dengan ‘kedebong pisang’. Jadi lakukanlah perlawanan semampumu, Nona. Aku akan bergembira sekali.”
Murni hanya pasrah ketika laki-laki itu menggumulinya dengan bernapsu sekali. Laki-laki itu tak menyisakan sedikitpun, meski itu hanya setitik harapan. Terbayang di matanya wajah orang-orang yang dicintainya, Ayahnya, Ibunya, adiknya, juga kekasihnya yang pasti sedang panik karena dia tak jua pulang….
Tak ada gunanya lagi hidup ketika sesuatu yang sangat barharga direnggut paksa.
“Hidup tak selalu sesuai dengan keinginan kita. Tak selalu perlu ada kebetulan dan keajaiban di akhir sebuah cerita…” Kalimat dari dosen filsafatnya itu terngiang kembali di telinganya.
Satu tahun kemudian ada berita menghebohkan: DITEMUKAN  KUBURAN MASSAL DI RUMAH KEBUN

Sabtu, 24 Juli 2010

TRAGEDI DI UJUNG MALAM

.....       Bunuh! Bunuh mereka semua! Suara itu bergema kembali di telingaku.
Entah sejak kapan suara itu mulai mengusikku. Aku tak tahu. Yang pasti, aku mulai merasa terganggu oleh bisikan-bisikan yang bertentangan dengan nurniku itu.
He…he…he…, kau berusaha menyelidiki aku rupanya. Tak semudah itu anak muda. Semua jiwa yang terperangkap olehku jarang sekali yang mampu melepaskan diri. Usahamu akan sia-sia. Lebih baik kau turuti saja kemauanku, suara itu terdengar lagi. Kali ini dengan nada mengancam.
Kucoba mengabaikan suara-suara yang menggangguku dengan bernyanyi kecil sepanjang jalan menuju rumahku. Sesampainya di rumah aku langsung meletakan bungkusan berisi cairan pembasmi serangga pesanan ayahku di atas meja.
Tadi pagi, sebelum berangkat ke rumah nenek dengan ibu dan adik-adikku, beliau memang menyuruhku membeli barang yang paling tidak kusukai itu.
Sementara itu senja kelabu mulai merangkak mendekati gelap. Dan awan hitam di angkasa tak sanggup menahan keinginan air untuk membentuk hujan yang kemudian jatuh di mataku.
Musim hujan kali ini memang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, seperti membawa kutukan dari langit. Banyak sekali bencana. Dari mulai tanah longsor,banjir, sampai wabah demam berdarah.
Untuk yang pertama dan yang kedua aku tak khawatir, karena rumah yang kutempati bukan berada di daerah dataran tinggi berbukit-bukit, juga bukan di dataran rendah yang rawan banjir.
Yang paling kutakuti saat ini adalah demam berdarah, karena menurut cerita pak Soleh, pemilik warung kelontong tempat aku membeli racun serangga tadi, di kampung ini dalam sebulan sudah dua orang yang menjadi korban keganasannya.
Kuhempaskan tubuhku yang letih di sofa ruang depan rumahku. Kelelahan yang menderaku setelah seharian membersihkan tempat-tempat yang kutenggarai menjadi sarang nyamuk membuat kelopak mataku terasa berat.
Tak kupedulikan lagi satu-dua nyamuk yang menjengkelkan mengigitku. Akhirnya aku pun tertidur. Itu membebaskan diriku dari bisikan-bisikan sialan yang selalu menggangguku.
***
Aku berjalan di tengah padang rumput yang luas sekali. Sejauh mata memandang hanya kehijauan yang membentang, laksana permadani raksasa. Sepertinya padang rumput itu memang tak bertepi.
Aku berjalan terus tanpa mengenal lelah. Yang kurasakan saat itu hanya rasa takjub sekaligus takut. Apalagi saat di benakku muncul bayang-bayang iblis bemuka seram seperti yang sering diceritakan nenek waktu kecil dulu tiap kali aku akan pergi tidur.
Celakanya, ketakutanku menjadi kenyataan. Di kejauhan aku melihat sosok yang makin lama makin sekat, dekat, dan semakin jelas. Sosok hitam legam dengan wajah seekor bunglon.
Rasa takut yang begitu dahsyat memantek diriku saat sosok itu menatap diriku sambil menyeringai memamerkan taring-taringnya yang meneteskan darah. Benar-benar mengerikan.
Aku seperti terhipnotis, menuruti saja kemana langkah kaki iblis itu.
Lalu di suatu tempat yang di kelilingi oleh jurang teramat dalam, tiba-tiba iblis itu menghilang tinggalkan diriku sendirian dicekam ketakutan.
Seiring dengan lenyapnya iblis itu, dari kejauhan terdengar suara berdengung mirip suara ribuan lebah. Dan… jutaan nyamuk menyerbu diriku hingga seluruh tubuhku tertutup oleh banyaknya serangga penghisap darah tersebut. Aku merasa bagai tertusuk ribuan jarum.
Setelah puas menghisap darahku, nyamuk-nyamuk itu serentak, seperti dikomando membawa terbang diriku tinggi sekali, dan kemudian melepaskan diriku. Aku pun meluncur bebas dengan deras kedasar jurang yang gelap itu.
“Brak!”
Aku terjatuh dari sofa.   Untung hanya mimpi, batinku. Tapi tak urung kepalaku berdenyut sakit. Dengan malas aku perlahan bangkit, meraba-raba di kegelapan, mencari tombol lampu. Rupanya keluargaku belum pulang dari rumah nenekku.
***
Malam makin larut. Keheningan terasa kian mencekam. Kulihat wajahku di cermin, nampak pucat dan kurus. Mataku terlihat memerah dan agak mencelong ke alam. Tulang pipiku pun tampak agak menonjol keluar.
Beberapa hari ini aku memang kurang tidur, karena banyak sekali nyamuk yang menggangguku dengan gigitan maupun suara dengungannya. Dan itu membuat selera makanku hilang.
“Tidur, Yan . Sudah malam,” kata ayahku dari kamarnya. Rupanya ayahku terbangun.
“Iya,” jawabku.
Di mana-mana orang tua memang seperti itu, gampang sekali terbangun oleh suara-suara di tengah malam. Tidak seperti adik-adikku yang kini bergeletakan beralas tikar di hadapanku.
Memang untuk ukuran keluarga besarku yang berjumlah sebelas orang, rumahku termasuk sempit. Hanya ada dua kamar tidur. Yang satu ditempai oleh kedua orang tuaku, dan kamar yang satunya lagi ditempati oleh ke-empat adik perempuanku. Terpaksa, sebagai anak laki-laki, aku dan ke empat adikku mengalah, tidur di ruang tamu.
Kulihat Pusy, kucing kesayanganku, bergelung di antara kaki Andre, adik bungsuku yang berumur lima tahun. Tidurnya terlihat nyenyak sekali. Mungkin karena hangat.
Aku memang penyayang binatang. Aku paling tidak tega meyakiti atau melihat binatang menderita, terutama kucing. Maka kubiarkan Pusy tidar bersama kami.
Kurebahkan tubuhku di samping Pusy, sambil berharap dapat tidur nyenyak dengan mimpi yang indah. Tapi tiap kali kupejamkan mataku malah terasa pedih.
Ah, ini semua gara-gara rumah yang baru kutempati beberapa hari ini. Banyak lubang-lubang yang belum semuanya tertutup. Jendela belum dipasangi kaca, baru hanya ditutup denag dua buah papan. Mungkin itulah biang keladi dari semua ini.
Bunuh! Bunuh mereka semua! Suara itu lagi-lagi terngiang di telingaku, lebih halus, lebih lembut, tapi sekaligus semakin menikam hatiku.
Tidak! Nuraniku berontak berusaha melepaskan diri dari bisikan-bisikan laknat tersebut.
Mereka telah menyakitimu, Bodoh! Suara itu menghardikku.
Aku memandang adik-adikku yan tidur dengan gelisah. Malam ini memang lain dari biasanya. terasa agak gerah. Mungkin akan turun hujan.
Kasihan mereka, batinku.
Peduli setan! Maki suara itu.
Pergi kau, haram jadah! Aku muak dengan ocehanmu! Nuraniku meradang. Tapi suara itu malah tertawa mengejekku.
Sudahlah, apa lagi yang kau tunggu. Bunuh saja mereka. Toh, mereka tidak menguntungkan bagimu, suara itu membujuk.
Tapi mereka mahluk-mahluk Tuhan. Aku tak mau membantai mahluk-mahluk Tuhan.
Bodoh! Suara itu menyela. Inilah saat yang tepat untuk mengakhiri penderitaanmu, anak muda.
Tidak! Mereka berhak hidup seperti diriku. Memang, aku kecewa karena mereka selalu menggangguku. Tapi… tidak! Aku tidak mau, dan tak akan pernah mau.
Harus! Kau harus membunuh mereka. Kalau tidak, kau yang akan celaka.
Perang dahsyat yang berkecamuk di dalam hatiku sejak beberapa hari yang lalu itu berakhir dengan mengenaskan. Hatiku kalah berperang. Akhirnya dengan terpaksa aku bangkit, meraih botol racun serangga.
Di malam yang dingin dan mencekam itu, dengan air mata berlinang aku memulai aksi pembantaian. Demi satu alasan, untuk menghindari demam berdarah.
Satu demi satu nyamuk itu mati… padahal aku penyayang binatang.
Depok, 24 Juli 2010

Rabu, 21 Juli 2010

RESEP NGOCOL

Resep membuat masa depan suram: Ambil kemalasan, kalau bisa yang paling malas, campur dengan rasa gak tau malu sebanyak-banyaknya, bungkus dengan ngorok terus, dan padatkan dengan sepenggal penyesalan masa lalu, setelah matang iris tipis-tipis setipis harapan. Nikmati sambil begadang.

SAAT WAJAHKU DITAMPAR SANG REMBULAN



Mutiara,
Setelah aku tiba di puncak kelelahan yang menyiksa
Setelah aku puas menikmati derita
Akhirnya kudapati jua bulan purnama
Bulan yang kuharap sinarnya dapat mengobati luka di dada

Kulihat cinta membayang di kening sang purnama
Sinar peraknya jatuh menghujam jauh ke dasar sukma
Membuat partikel-partikel alam bawah sadarku berkata
Sambut dan peluklah dia dengan sepenuh jiwa

Namun kemudia aku terkapar tanpa daya di tepi jalan
Saat wajahku ditampar sang rembulan
Sesaat setelah dia menyibak tabir kenyataan
Kenyataan yang sama sekali tak kuharapkan

Ternyata sang purnama tak sudi lagi memberi sinarnya
Dia terlalu asyik bercumbu dengan bintang kejora
Tinggalkan aku si bungkuk yang hina dina
Yang hanya tinggal di istana apa adanya

Mutiara,
Haruskah kembali kucumbu malam tanpa pesonanya?
Haruskah kembali kudekap paginya yang buta?
Haruskah kembali kuberkencan dengan dinginnya yang menyiksa?
Atau haruskah dengan terpaksa kunikmati kembali derita panjang buah dari cinta ini?
Haruskah itu terjadi, mutiara…?

Senin, 19 Juli 2010

CERITA SEORANG KESATRIA

Kembali ada renzana yang membuai jiwaku
Saat bayangmu terbang bersama sang bayu
Menggoyang lembut daun-daun hasratku
Mengelus membelai anganku yang slalu merindu
Indah terasa sesaat di nurani
Ketika semua bersatu dengan irama kecapi
Bergetar seiring alunan simponi
Terdengar syahdu di ujung malam yang hampir pagi
Lantas dengan sedikit gemetar karena rindu yang membeku
Terdorong oleh rasa cintaku yang tak pernah layu
Kutuliskan di atas daun lontar yang suci tak berdebu
Puisi indah untukmu kekasihku
Andai engkau adalah bunganya surga,
Jadilah mawar berduri di belantaranya
Agar kau mekar sempurna di keindahannya
Hingga wangimu tercium  sampai ke mayapada
Dan bila nanti ada kumbang ingin menghisap madumu bunga
Dia harus terlebih dahulu rela menderita
Tertusuk, tercabik duri pesona yang kau punya
Dan kau pun tak layu sebelum waktunya
Itulah sebait puisi yang di tulis sang pecinta
Itulah getar-getar yang merasuk di sukmanya
Itulah kisah sang ksatria
Yang kini tengah bersemayam di goa tempatnya bertapa...

Minggu, 18 Juli 2010

Di awal pagi yang dingin (sebuah puisi terlarang)

Di awal pagi yang dingin
Kita berboncengan karena kebetulan saat itu kebetulan sedang berbaik hati kepadaku
Kita berhujan-hujan melawan logika
kau menolak saat kuajak berteduh di tritikan pertokoan
kau juga menolaknya saat kutawarkan untuk menumpang bis
Kita seperti orang gila berbasah-basah puluhan kilometer
Kau juga mungkin kedinginan di kelas itu…
Yang sampai kini tak kupahami, untuk apa semua itu?

NYANYIAN CINTA YANG SENDU

Suara serangga malam seakan membentuk orkestra alam yang menambah syahdu suasana di malam itu. Menemani Sukma yang tengah menulis surat untuk istrinya. Surat yang akan merubah garis hidupnya. Dia sudah muak dengan gunjingan dan cemoohan tetangga tentang kehidupan ekonominya.

Sukma membaca kembali surat yang baru saja ditulisnya. Entah sudah berapa lembar kertas yang bersarang di tempat sampah yang ada di samping meja kerjanya. 

Dinda, aku mencintaimu setulus hatiku, sepenuh jiwa ragaku. Bahkan cintaku padamu melebihi rasa cintaku kepada Tuhanku. Sungguh!

Kamu tahu, Dinda? Sering aku berhayal memindahkan surga ke dunia hanya untukmu, agar kelak kita bisa bercanda di tamannya bersama anak-anak kita. Dan bila senja datang, kita bercangkrama di beranda istana mungil milik kita sendiri yang berpagar bunga-bunga ajaib tentunya, setelah itu, bila malam diuntai turun kita memadu kasih di peraduan kita yang bertilam sutra.

Tapi sayang, aku terlalu lemah untuk mewujudkan rasa cintaku itu. Jangankan untuk memindahkan surga, membuat kamu tersenyum bahagia pun aku tak mampu. Ternyata besarnya cintaku padamu tak mampu mengubur ketololanku.

Dinda, tahukah kamu? Aku begitu sedih bila melihat pendar indah di mata kamu yang dulu sebelum kita menikah selalu membuatku penasaran karena penuh misteri, kini perlahan tapi pasti mulai meredup karena penderitaan hidup. Ada perasaan berdosa di hatiku bila melihat senyum manismu yang dulu selalu menghadirkan kesejukan di jiwaku kini patah dibebani cerita hidup kita. Aku benar-benar tersiksa oleh rasa bersalah, karena itu semua terjadi di depan mataku tanpa aku mampu berbuat apa apa.

Dinda, terlepas dari kekurangan yang ada pada dirimu, kamu adalah yang terbaik bagi diriku, namun aku bukanlah yang terbaik bagi dirimu. Entah apa yang membuat kamu bertahan hidup denganku setelah apa yang kita lalui selama ini. Pengabdiankah? Rasa cintakah? Ketidakberdayaankah? Bila pengabdian yang membuat kamu bertahan hidup denganku, kamu salah. Karena aku bukanlah tife suami yang pantas menerima pengabdianmu. Aku bukanlah laki-laki suci tanpa dosa. Bila cinta yang menjadi dasar tindakanmu, kamu juga salah karena aku bukanlah laki-laki yang memenuhi syarat untuk mendapat cintamu. Aku tak memiliki apa apa meski itu keberanian sekalipun. Terlalu banyak lelaki yang lebih berhak mendapat cinta sucimu. 

Dan bila ketidakberdayaan yang membuatmu bertahan hidup denganku, itu juga salah. Kamu adalah wanita yang paling tegar yang pernah kutemui selain ibuku. Dengan itu kamu bisa mendapat apa pun dalam hidup ini meski tanpa diriku.

Dinda, kini dadaku penuh sesak dengan rasa bersalah. Kelemahan diri membuatku ingin membebaskanmu dari penderitan hidup dengan memutus hubungan kita, agar kamu bisa terbang lepas mencari cinta sejatimu yang nanti pasti akan mampu menyemaikan pelangi dalam jiwamu dan mempersembahkan surga dan bintang-gemintang padamu. Aku rela , Dinda, meski itu bererti aku akan kesepian karena tak kan lagi mendengar rengekan anak kita dan celotehmu yang lugu dan polos di saat-saat kita akan pergi tidur.

Dinda, setelah kupukir dengan kepala dingin beberapa hari terakhir ini kurasa inilah jalan terbaik satu-satunya yang ada di otakku. Aku berharap kamu tak berprasangka buruk pada diriku. Ini kuputuskan karena aku sudah putus asa dengan penderitaan yang kita alami. Aku tak sanggup melihatmu menderita, terjerat kemiskinan, sungguh! Mungkin hanya dengan cara ini aku bisa sedikit mengurangi kemarahan Tuhan karena menyia-nyiakanmu.

Satu pintaku padamu, jaga anak kita. Didik dia agar kelak menjadi pria tegar yang mampu meredam badai kehidupan. Dan jangan kamu cari aku, karena aku akan pergi jauh mencari takdirku. Bila suatu saat nanti Tuhan menghendaki, aku pasti akan kembali padamu sebagai lelaki baru.

Yang mencintaimu, Sukma…

Sukma menarik napas panjang untuk kemudian menghempaskannya seakan dengan itu ia melepaskan beban berat yang memenuhi rongga dadanya. 

Setelah dirasanya pas isi dan susunan kalimatnya, surat itu pun dilipat dan diletakannya meja kecil, di samping tempat tidur di mana biasanya Yanti melihat jam beker begitu ia terbangun.

Sukma segera berkemas tanpa sepengetahuan Istrinya, Yanti, yang tengah tertidur pulas karena kelelahan setelah seharian berkutat dengan urusan-urusan rumah tangga. Ada sedikit rasa haru di hati Sukma saat dia melihat Dewa, anaknya yang baru berumur satu tahun, tersenyum dalam tidurnya.

“Maafkan Ayah, Nak,” bisiknya di telinga Dewa. Bocah tersebut beringsut sedikit. 

Untuk terakhir kali Sukma mengecup kening anaknya sebelum pergi meninggalkan semua yang membebaninya itu. Sementara malam semakin layu di pagut dini dan terus merangkak berusaha menghindari takdirnya yang tak terelakan. Direnggut pagi.

Yanti terbangun oleh suara beker yang di stel pukul 4.30. Dia memang biasa bangun pagi untuk melaksanakan rutinitasnya, mencuci pakaian, dan menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya. Tapi pagi itu dia terkejut saat mendapati Sukma tak ada di sampingnya. Terlebih di saat matanya membentur secarik kertas terlipat rapi yang tersandar menutupi jam beker. Dengan hati bertanya-tanya dibuka dan dibacanya surat itu

Yanti terhenyak, tubuhnya terasa lemas, tangannya gemetar. Air matanya tak kuasa lagi ia bendung. Dia tak habis pikir dengan apa yang telah dibacanya. Apa yang salah pada diriku, Bang? batinnya. Selama ini aku tak pernah menuntut banyak pada dirimu. Bila kemarin malam aku tak dapat menahan emosi itu karena Ibu Haji selalu datang menagih uang kontrakan yang belum kita bayar selama dua bulan terakhir. Kenapa kamu tega meninggalkan diriku, Bang?

Oh, Tuhan, apa yang harus kulakukan? Apa salahku padanya? Apakah karena pertengkaran kami kemarin malam?

Terbayang di matanya pertengkaran dengan Sukma kemarin malam.

“Kamu pikir aku nggak menderita, apa? Bertahun-tahun aku hidup sama kamu, bisa kuhitung dengan jari berapa kali kamu memberi uang belanja padaku. Kesabaranku ada batasnya, Bang! Yanti meradang. Air matanya tak sanggup lagi di tahan. Ia pun menangis sesungukan.

“Tapi, Mah. Aku kan gak tinggal diam berpangku tangan. Aku tetap berusaha. Kamu kan tahu sendiri, zaman lagi krisis begini cari kerja susah. Lagian aku gak macam-macam. Kamu harus mengertiin aku, dong. Tulisanku kan belum ada yang dimuat.”

Ah, maafkan aku, bang. Waktu itu aku begitu lelah setelah menjaga anak kita, sementara kamu terlalu asik dengan cerpen-cerpen kamu itu. Kamu sebentar pun tak mau menggendong Dewa. Ditambah lagi dengan orang-orang yang datang menagih utang pada kita. Kamu tak merasakan malunya karena kamu jarang ada di rumah. Tetapi aku, setiap hari aku menerima tatapan kasihan, kadang cacian dari tetangga-tetangga kita.

***

Yanti tengah merenungi perjalanan hidupnya yang penuh dengan penderitaan. Sudah beberapa hari ini, semenjak kepergian Sukma entah sudah berapa orang yang datang menagih utang kepadanya.

Semenjak menikah dengan Sukma hidupnya memang berubah seratus delapan puluh derajat. Tak ada lagi keceriaan, kecuali beberapa bulan pertama di tahun-tahun pernikahannya. Selebihnya adalah penderitaan-penderitaan, dari mulai jarang pulangnya Sukma, barang-barang yang habis terjual untuk biaya hidup karena memang Sukma belum bekerja, sampai pada bentakan dan makian dari Kolektor-kolektor yang menagih hutang pada Sukma. 

Entah apa saja kegiatan Sukma di luar sana, Yanti tak pernah tahu. Bila ditanya jawabannya selalu sama. Kumpul dengan komunitas penulis di TIM. Padahal sebelum mengenal Sukma dia adalah gadis periang yang hidup serba kecukupan. Hidup berbahagia dengan kedua orang tua yang sangat menyayanginya.

Terbayang kembali di matanya episode-episode indah yang tak terlupakan dalam hidupnya. Episode terbaik yang diberikan Tuhan kepada dirinya. Mah, Pah, maafkan Yanti. Mungkin kalau saja waktu itu Yanti menuruti nasehat kalian semua ini tidak akan terjadi.

Yanti meraih gelas berisi air bening yang ada di meja. Ditatapnya butir-butir putih kecil yang ada di tangan kirinya, dimasukan semua ke dalam mulutnya. Dengan bantuan air diteguknya butir-butir putih itu. Terbayang di matanya Sosok yang memberi warna ceria, muram, dan pelangi yang indah dalam hidupnya. Sosok Sukma. Terbayang semua saat-saat indah bersamanya.

Aku mencintaimu, Bang, sangat mencintaimu. Aku rela menukar apapun yang kumiliki untuk mengembalikan dirimu kepadaku…

Yanti merebahkan tubuhnya di samping Dewa yang terbujur tanpa suara. Dipeluknya anak itu seakan tak ingin dilepaskan sambil menunggu tangan-tangan gaib menjemput mereka berdua.

“Maafkan Ibu, Nak. Di sini kita tak punya siapa-siapa lagi. Kita tunggu Ayah di tempat dulu kita sering bercanda bersama, ya….” Bisik Yanti di telinga anaknya itu. Air mata yang sedari tadi membentuk anak sungai di pipinya, mengalir deras membasahi dan menodai sprai putih bersih yang rajin dicucinya.

Dinikmatinya sensasi yang perlahan-lahan datang memenuhi kesadarannya, seperti kabut lembut yang perlahan tapi pasti mengaburkan pandangannya. Yang lantas tiba-tiba menjadi sinar terang yang menyilaukan sesaat untuk kemudian perlahan kembali meredup , redup, menyisakan setitik dan lantas gelap selamanya.

***

Sementara itu, nun jauh di sana, di salah satu villa di kawasan puncak, Jabar. Sukma tengah asyik bercenggkrama dengan Rindu, wanita cantik, muda, kaya, dan menggairahkan.

“Kenapa kau meninggalkan istri dan anakmu, Bang?”

“Dia tak pernah menghargai profesi yang kupilih. Lagi pula aku sudah muak dengan kebodohan dan ketidakberdayaannya. Kamu tau sendiri ‘kan? Orang seperti itu seperti ‘bom waktu’. Aku juga muak dengan sikapnya yang kampungan,” jawab Sukma. “Gak kaya kamu, tegar, mandiri, pintar dan mencintaiku. Aku bisa lihat di matamu ada cinta yang membara, yang bila suatu saat nanti padam kamu tak’kan ragu-ragu dan takut dengan segala tetek bengek etika, tradisi, dan norma, untuk meninggalkan aku. Sungguh. Itu yang kusuka dari kamu.”

“Anakmu, Bang?"

“Ah, aku juga tidak begitu suka dengan anakku. Jiwanya terlalu lemah. Aku ingin anak lelaki yang gagah dan tegar dari kamu, Sayang…” bisik sukma di telinga rindu…

Malam terus berkelana mencari cinta sejatinya sambil menaburkan bunga-bunga tidur di pembaringan jiwa-jiwa yang tengah resah.

Sabtu, 17 Juli 2010

CINTA OH CINTA

Dari dulu bagiku cinta sama saja, selalu membuatku menderita. Bila rindu datang menyerang secara tiba-tiba dari balik bunga-bunga kenangan hatiku terluka oleh torehannya, membuat dadaku sesak karena darah yang mengalir dari luka itu memenuhi dada tempatku meletakan bahagia. Bila cemburu datang hatiku terbakar oleh panasnya yang begitu menggelora, hingga terkadang mata hatiku buta karenanya. Bila bahagia tercipta karena nuansa cinta yang sangat indah tercipta oleh kebersamaan ku dengannya, ia-bahagia- hadir dengan segala kelebihannya, meluap menyemarakkan senyap, memporakporandakan tradisi, memenuhi lorong hatiku hingga aku merasa sesak, tak mampu bernafas.

Oh cinta, apa pun wujudmu bila kuletakkan dalam hati selalu membuatku menderita, tak enak makan, tak bisa tidur, tak mau jauh darinya, tak ingin lama-lama berpisah. Oleh karena itu aku tak pernah dan tak akan meletakkan mu di hatiku.

Jumat, 16 Juli 2010

CINTA YANG TERPASUNG

Aku ingin berlayar berdua denganmu dalam mahligai kasih yang tak tersentuh siapapun. Kita akan pergi ke pulau yang hanya dihuni oleh para jin dan setan-setan hingga hanya kitalah dewa dewi di mata mereka. Masa lalu? Tidak! Aku tak pernah menikmati dan mengingat masa lalu. Hanya satu dari seribu kenangan indah yang akan selalu kusimpan utuh di balik mega-mega jiwaku yang takkan seorang pun tahu kecuali kamu. Kenangan itu adalah saat bersama dirimu…

Kegiatan sehari hari kita? Meramu cinta dengan hati dan jiwa kita, untuk kemudian kita nikmati berdua. Akan kurajut benang benang cinta kita untuk kujadikan perhiasan yang akan kita kenakan bila suatu saat nanti kita menjadi legenda, sambil menerima tetesan sinar mentari kebahagiaan berlimpah yang kau janjikan dengan mulut manismu itu, sambil menghirup madu manis yang kau tawarkan di atas bezana emas murni.

Bila senja mulai bernyanyi kita nikmati suaranya yang merdu itu sambil memandang indahnya. Bila malam datang kita bercengkrama di balik selimut dinginnya yang justru menambah syahdu suasana. Dan bila bintang dan bulan ingin menyaksikan kita bermain cinta, mereka pasti hanya akan mengintip dari celah-celah jarinya. Aku yakin mereka cemburu pada kita…

Tapi…, apakah semua janjimu hanya fatamorgana yang akan segera lenyap begitu akan kugapai? Kenapa begitu lama kau pergi? Padahal janjimu hanya 7 purnama. ’aku hanya akan mengambil cangkul yang tertinggal di desa,’ kau bilang itu sambil mengecup kehormatanku. Tidakkah kau ingin menghancurkan belenggu yang memasung cinta kita itu? Bukankah cinta punya kekuatan yang mampu memporakporandakan tradisi sekalipun? Di mana kekuatan cintamu? Di mana indah cintamu yang nampak bagai sunset itu? Apakah memang cintamu tak sehebat yang terucap di bibirmu? Atau kau memang salah satu dari jin dan setan itu….

Kamis, 15 Juli 2010

BALADA CUT TARI

kalau kita pikir-pikir, sebenarnya kita kejam sama mereka, Ariel, Luna, dan Cut Tar. Kita menghakimi setelah kita meminta kejujuran dari mereka. Padahal hak untuk menghakimi bukan ada pada kita.

Kalau kita berpikir jernih, mereka adalah korban dari orang yang mungkin merasa sakit hati dengan salah satu dari mereka. Bisa jadi dengan Ariel, atau Luna Maya. Masalahnya, subyektifitas kitalah yang membuat mereka seperti mahluk hina yang dihinakan.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan seorang wanita, yang kita tahu sangat peka dan penuh kelembutan dihadapkan pada situasi untuk mengakui sesuatu yang sudah kita sepakati sebagai sebuah aib. Kalau saya bayangkan, mungkin perasaan Cut Tari sangat, terhina, malu, sedih, marah, dan lain sebagainya yang tidak bisa saya bayangkan.

Tapi inilah kita, hipokrit yang sering melihat semut di seberang lautan tapi tak mampu melihat gajah yang di depan mata kita...

Rabu, 14 Juli 2010

RINTIHAN JIWAKU

Pada malam saat aku dilahirkan, mahluk-mahluk kemungkinan yang ada di alam roh menangis karena kehilangan diriku. Mereka berkabung hingga dua pertiga malam mengiring kepergianku ke alam penuh kemungkinan. Terputuslah semua ikatan sampai nanti di batas waktu yang telah dtentukan. Aku saat itu yang merasa terdampar, menangis dengan alasan yang sama, kehilangan.

Aku memulai kembali hidup dari awal. Benar atau salah, hina atau mulia, jahat maupun baik, semua masih berupa kemungkinan. Lalu kucoba merangkai hurup demi hurup hingga menjadi kata. Kurangkai kata demi kata hingga menjadi kalimat dan sampai akhirnya kucari makana dari kalimat-kalimat tersebut, dan dari makna-makna tersebut kucoba runut satu-demi satu dengan benang merah logika, rasio, taklid, dogma, dan nurani hingga nanti kutemui makna sejati.

Aku hanyalah segumpal debu kotor yang mencoba mengkristal menjadi mutiara dalam kemegahan istana kemungkinan hidup. Apakah aku mampu menemukan kesejatian hidup? Pertanyaan itu kembali mengendap di dasar hatiku tertimpa kelelahan abstrak yang teramat sangat.

Dulu aku pernah hidup di dalam comberan negri antah berantah. Makan berebut dengan lalat, minum bercampur dengan babi, tidur bersama bunglon, namun bermimpi, bercita-cita memiliki sayap putih dan terbang beriringan dengan para pengabdi suci. Bila kuterbangun, ternyata separuh dari jiwa dan nuraniku telah tercabik-cabik, dikoyak-koyak oleh seribu srigala lapar.

Akhirnya, setelah aku tiba diambang batas kesakitan, tiba di ujung kelelahan yang teramat sangat, setelah puas menikmati derita, puas menikmati cinta kupu-kupu beracun, aku temukan lingkaran sejati diri. Di tepiannya aku bersimpuh. Kulihat air temukan jati dirinya dengan mengalir menuju muara dan bersatu dengan samudra. Kulihat api temukan jati dirinya dengan membakar kemungkinan dan kepastian hingga keabadian tercipta. Kulihat angin temukan jati dirinya dengan memuai hingga memenuhi udara bersatu dengan angkasa raya. Begiutpun dengan tanah, ia temukan jati dirinya dengan memadat hingga membentuk bulatan-bulatan relatif. Sayang, tak ada jati diriku di sana.

Oh, God…, di manakah jati diriku? Di manakah jalan ke arah kesempurnaan…? Kembali tanya hatiku tak terjawab, hanya bergaung bergema di dinding jiwaku yang tergetar. Memang aku hanyalah segumpal debu kotor, namun salahkah aku bila ingin jadi hakekat?

Begitu berhasrat aku untuk memasuki lingkaran itu meski aku sadar pasti akan tergesek oleh perputarannya. Aku rela meski terasa sakit sekalipun asalkan aku dapat melebur dan bersatu di titik pusat hingga dimensi-dimensi di tiap alam menjadi keakuanku, hingga aku dapat melihat jejak-jejak sejati terukir nyata di altar suci.

Hasrat tinggalah hasrat, aku terhumbalang oleh angin putarannya, jatuh ke dalam solokan kotor, hitam pekat, bau dan memuakan. Lantas tersemburlah dari mulutku sejuta caci maki yang kualamatkan pada mimpi, masa lalu, cita-cita dan diriku, di tengah kegalauan dan kelaraan lantaran luka bernanah.

Aku tak tahu kenapa aku terhempas. Mungkin karena ketololanku, atau mungkin karena kecerobohanku, atau mungkin juga karena tingkah lakuku yang memuakan. Entahlah. Yang jelas, lukaku teramat dalam hingga membekas di alam bawah sadarku.

Aku hanya bisa berbaring sambil menghitung dosa-dosaku yang lalu, kini, dan esok. Kucoba berpikir abstrak secara mendalam tanpa berpijak di atas titik apa pun, namun aku malah jatuh pada perrenungan diri yang pada akhirnya membuat diriku lenyap dlam semedi diri, egois, apatis, dan stagnasi hingga akhirnya aku terpaksa berkencan dengan bumi sambil menikmati puncak keresahan.

Yah, aku memutuskan untuk bermain kembali dalam kalimat sederhana, pulang ke istana ke takberpunyaan, dan tertidur di atas tikar apa adanya. Mungkin itulah awal yang baik, menurutku sebagai langkah untuk memulihkan luka-luka tanpa di pusingkan oleh makna mimpi dan kenyataan, karena bagiku mimpi adalah kenyataan yang kuimpikan,sedangkan kenyataan adalah mimpi yangh kunyatakan.

Aneh memang, bila akhirnya aku memilih disinari rembulan dibanding matahari yang lebih terang cahayanya. Itulah hidup, penuh dengan teka-teki yang sukar ditebak ke mana arahnya.Namun aku adalah mahluk terbaik, kepitrahanku berontak menyeretku untuk berjuang mengupas segala lapisan hidup dan kehidupan hingga nanti tiba pada inti segalka inti, akhir dari segala akhir, kugugah personalku yang menepi meski tengah asik bermimpi menyatu dengan kesadaran universal.

Dengan sisa tenaga yang ada, aku berysaha bangkit meski tubuh dan jiwaku masih penuh dengan luka berdarah. Lantas dengan napas tersenggal kurangkul rembulan, matahari dan bintang, kukecup sepenuh hati dan jiwaku di keningnya agar mereka sudi berbagi cerita sejati diri cahayanya, sambil kuuntai sejuta doa yang selama ini berserakan diculik alasanku.

Perlahan namun pasti kukumpulkan sejuta pertanyaan yang dulu memenuhi alam bawah sadarku. Kumasukan ke dalam keranjang sampah dan kucampakan jauh-jauh dari diriku. Lantas dengan sedikit gemetar, terdorong oleh kesadaranku, kutuliskan di atas daun lontar sebuah puisi untuk kekasihku.

Memang tubuhku masih lemah, mukaku masih pucat dan kuyu, mataku masih sendu, namun aku kini sudah mampu berdiri di tepi lingkaran sejati diri dan siap menapaktilasi jejak-jejak sejati yang terukir indah di atas altar suci. Dan meski remang, aku dapat melihat kebenaran dan kesalahan sebagai keadilan sejati, hitam dan putih sebagai kebeningan warna sejati, terang dan gelap sebagai keindahan sejati, awal dan akhir sebagai batas sejati, serta sedih dan gembira, senang dan susah sebagai isi kehidupan sejati. Mereka semua bersimpuh di bawah kaki sejati hakiki yang bersemayam di singgasana atap langit. Kulihat masih ada tempat untukku di

Aku adalah aku yang dulu pernah menganggap malam sebagai sebuah danau tempatku berimajinasi, berinsfirasi, berkontemplasi.

Aku adalah aku yang dulu bagai ngengatbodoh yang menghampiri api meski sadar aku akan terbakar.

Aku adalah aku yag dulu pernah melontarkan sejuta caci maki yang kualamatkan pada ayah, diriku sendiri, dan tuhan.

Aku adalah aku yang dulu bagai setitik debu yang mencoba mengkristal menjadi mutiara, namun membeku dalam lumpur kenistaan.

Aku adalah aku yang pernah di hukum hanya karena mencari jati diri terlalu jauh dngan tidak mendapat apa yang kucari.

Aku adalah aku yang dulu bagai samudra yang menelan sgala yang apa yang masuk dari muara.

Aku adalah aku , yang kini kutahu yang kumau

JALAN SUNYI

Aku adalah malam yang tengah mengembara mencari cinta sejati yang sampai saat ini belum jua kutemui. Pernah sih, aku nyaris bertemu dengan cinta sejatiku, tapi entah kenapa dia pergi meninggalkan aku. Ceritanya waktu itu aku tengah beristirahat setelah berjalan seharian tanpa mengenal lelah. Di tepi jalan aku mengintip seseorang yang tengah bersenda gurau dengan kekasihnya di atas permadani cinta. Dia kulihat begitu bahagia. Aku jadi cemburu dibuatnya, karena keteledoranku akhirnya dia tahu bila aku sedang mengintipnya, tapi anehnya dia tidak marah, dia malah mengundangku untuk bergabung dengannya.Anehnya lagi, dia tidak sedikitpun terganggu dengan kehadiranku, tak sepatah kata pun terucap di bibirnya.

Aku berjalan dengan langkah gontai tanpa pegangan, meraba-raba langkah agar tak terperosok karena jalan yang tengah kulalui tak ada cahaya sedikitpun, semua gelap, pekat, tanpa sinar. Aku terus berjalan menggapai-gapai apa yang bisa kugapai. Menebak langkah, menebak apa yang kusentuh, menebak yang kuinginkan.

Aku terus berjalan tanpa mengenal lelah atau memang lelah yang tak kukenali hingga aku tak mampu membedakan mana lelah dan mana tidak. Aku begitu banyak melihat dengan perasaan, hanya dengan intuisi, hanya dengan hati. Dan justru itu membuatku tak lagi dapat membedakan apakah aku lelah atau tidak.

Dengan perasaan aku melihat sampah berserakan di sepanjang jalan, di masjid, di gereja, di sekolah, di institusi-institusi, bahkan di kamar-kamar orang-orang yang terlihat resik sekalipun. Semua sampah! Aku lelah karena harus bertarung dengan bagian diriku yang lain, logika, antara harus membersihkan sampah-sampah atau harus terbiasa dengan sampah-sampah.

Di ujung jalan akhirnya aku menemukan cahaya hingga aku bisa melihat dengan mata telanjang sampah-sampah berterbangan di sapu angin, padahal tadi aku tak merasa ada angin. Mungkinkah perasaanku berbohong padaku? Ataukah memang aku sudah terbiasa membohongi diriku sendiri. Aku jadi bertanya, mungkinkah cahaya yang menerangi jalanku adalah cahaya sungguhan, bukan fatamorgana penipu mata? bIla ia, dengan apa aku harus membedakan antara gelap sesungguhnya denagn terang yang menipu? Dengan apa harus kujalani hidupku ini?

Aku terus berjalan. Kubiarkan semua rasa merasuki diriku hingga tak lagi dapat kubedakan, mana senang, sedih, gembira, marah, merasa bodoh, puas, karena aku tak lagi dapat membedakan dengan cara apa aku harus memandang dunia. Yang ku tahu hanya aku terus berjalan dengan terpaksa atau tidak. Karena aku tak lagi dapat membedakan, motivasi aku berjalan ini karena aku ingin atau karena aku terpaksa.

"Saudara mau kemana?” tanya seseorang ketika aku sampai di persimpangan.

Aku tahu ada di persimpangan tentunya setelah aku melihat dengan perasaan. “kalau tidak punya tujuan pasti, ikut saja kami. Rombongan kami akan pergi ke sebuah tempat yang sangat indah yang bernama kedamaian.

Aku tidak mau karena aku tak bisa membedakan mana damai dan mana bukan. Lebih baik aku cari sendiri saja.” Jawabku enggan.

Orang tersebut berlalu dengan rombongannya.Aku kembali berjalan, dan aku merasa suatu hari tiba di pasar. Itu kuketahui dari rasa sesak, ramai, dan bau yang menusuk hidungku. Bau sampah bercampur bangkai yang justru kunikmati karena baunya tak coba ditutupi oleh para orang-orang yang ada di pasar tersebut.

"Oh, ini pasar kejahatan." jawab salah seorang lelaki tua yang kujumpai di sana. "Di sampimg andaitu pelacuran kelas 50.000an, di depan anda lokasi penadah barang curian, di belakang anda tempat para perampok, pencuri, penjambret, dan pengemis mengatur rencana-rencana masa depan mereka. Sementara di samping kanan anda tempat orang-orang bermain judi.” Jawab seseorang.

"DI mana stand Korupsi?” tanyaku ingin tahu. “Oh, di sini tak ada korupsi. Korupsi, upeti, dan suap tidak termasuk kejahatan di sini. Tidak ada yang sanggup membeli atau menyewa stand korupsi. Kalau pun ada yang mampu, tak ada yang akan membeli korupsi, karena korupsi terlalu mahal bagi kami. Korupsi hanya ada di swalayan yang agak elite. Biasanya di swalayan tertentu di negri ini, adanya biasanya di tempat-tempat pembuatan SIM, tempat-tempat mengurus dokumen, di tempat-tempat mengambil kebijakan, di dekat-dekat proyek, di tempat-tempat rapat anggota dewan, dan di tempat-tempat ibadah. Tapi biasanya tak pernah berbau, tidak seperti di sini.

Aku kembali berjalan menelusuri lorong-lorong sunyi, sendiri…