Rabu, 21 Juli 2010

SAAT WAJAHKU DITAMPAR SANG REMBULAN



Mutiara,
Setelah aku tiba di puncak kelelahan yang menyiksa
Setelah aku puas menikmati derita
Akhirnya kudapati jua bulan purnama
Bulan yang kuharap sinarnya dapat mengobati luka di dada

Kulihat cinta membayang di kening sang purnama
Sinar peraknya jatuh menghujam jauh ke dasar sukma
Membuat partikel-partikel alam bawah sadarku berkata
Sambut dan peluklah dia dengan sepenuh jiwa

Namun kemudia aku terkapar tanpa daya di tepi jalan
Saat wajahku ditampar sang rembulan
Sesaat setelah dia menyibak tabir kenyataan
Kenyataan yang sama sekali tak kuharapkan

Ternyata sang purnama tak sudi lagi memberi sinarnya
Dia terlalu asyik bercumbu dengan bintang kejora
Tinggalkan aku si bungkuk yang hina dina
Yang hanya tinggal di istana apa adanya

Mutiara,
Haruskah kembali kucumbu malam tanpa pesonanya?
Haruskah kembali kudekap paginya yang buta?
Haruskah kembali kuberkencan dengan dinginnya yang menyiksa?
Atau haruskah dengan terpaksa kunikmati kembali derita panjang buah dari cinta ini?
Haruskah itu terjadi, mutiara…?

Tidak ada komentar: