Rabu, 14 Juli 2010

JALAN SUNYI

Aku adalah malam yang tengah mengembara mencari cinta sejati yang sampai saat ini belum jua kutemui. Pernah sih, aku nyaris bertemu dengan cinta sejatiku, tapi entah kenapa dia pergi meninggalkan aku. Ceritanya waktu itu aku tengah beristirahat setelah berjalan seharian tanpa mengenal lelah. Di tepi jalan aku mengintip seseorang yang tengah bersenda gurau dengan kekasihnya di atas permadani cinta. Dia kulihat begitu bahagia. Aku jadi cemburu dibuatnya, karena keteledoranku akhirnya dia tahu bila aku sedang mengintipnya, tapi anehnya dia tidak marah, dia malah mengundangku untuk bergabung dengannya.Anehnya lagi, dia tidak sedikitpun terganggu dengan kehadiranku, tak sepatah kata pun terucap di bibirnya.

Aku berjalan dengan langkah gontai tanpa pegangan, meraba-raba langkah agar tak terperosok karena jalan yang tengah kulalui tak ada cahaya sedikitpun, semua gelap, pekat, tanpa sinar. Aku terus berjalan menggapai-gapai apa yang bisa kugapai. Menebak langkah, menebak apa yang kusentuh, menebak yang kuinginkan.

Aku terus berjalan tanpa mengenal lelah atau memang lelah yang tak kukenali hingga aku tak mampu membedakan mana lelah dan mana tidak. Aku begitu banyak melihat dengan perasaan, hanya dengan intuisi, hanya dengan hati. Dan justru itu membuatku tak lagi dapat membedakan apakah aku lelah atau tidak.

Dengan perasaan aku melihat sampah berserakan di sepanjang jalan, di masjid, di gereja, di sekolah, di institusi-institusi, bahkan di kamar-kamar orang-orang yang terlihat resik sekalipun. Semua sampah! Aku lelah karena harus bertarung dengan bagian diriku yang lain, logika, antara harus membersihkan sampah-sampah atau harus terbiasa dengan sampah-sampah.

Di ujung jalan akhirnya aku menemukan cahaya hingga aku bisa melihat dengan mata telanjang sampah-sampah berterbangan di sapu angin, padahal tadi aku tak merasa ada angin. Mungkinkah perasaanku berbohong padaku? Ataukah memang aku sudah terbiasa membohongi diriku sendiri. Aku jadi bertanya, mungkinkah cahaya yang menerangi jalanku adalah cahaya sungguhan, bukan fatamorgana penipu mata? bIla ia, dengan apa aku harus membedakan antara gelap sesungguhnya denagn terang yang menipu? Dengan apa harus kujalani hidupku ini?

Aku terus berjalan. Kubiarkan semua rasa merasuki diriku hingga tak lagi dapat kubedakan, mana senang, sedih, gembira, marah, merasa bodoh, puas, karena aku tak lagi dapat membedakan dengan cara apa aku harus memandang dunia. Yang ku tahu hanya aku terus berjalan dengan terpaksa atau tidak. Karena aku tak lagi dapat membedakan, motivasi aku berjalan ini karena aku ingin atau karena aku terpaksa.

"Saudara mau kemana?” tanya seseorang ketika aku sampai di persimpangan.

Aku tahu ada di persimpangan tentunya setelah aku melihat dengan perasaan. “kalau tidak punya tujuan pasti, ikut saja kami. Rombongan kami akan pergi ke sebuah tempat yang sangat indah yang bernama kedamaian.

Aku tidak mau karena aku tak bisa membedakan mana damai dan mana bukan. Lebih baik aku cari sendiri saja.” Jawabku enggan.

Orang tersebut berlalu dengan rombongannya.Aku kembali berjalan, dan aku merasa suatu hari tiba di pasar. Itu kuketahui dari rasa sesak, ramai, dan bau yang menusuk hidungku. Bau sampah bercampur bangkai yang justru kunikmati karena baunya tak coba ditutupi oleh para orang-orang yang ada di pasar tersebut.

"Oh, ini pasar kejahatan." jawab salah seorang lelaki tua yang kujumpai di sana. "Di sampimg andaitu pelacuran kelas 50.000an, di depan anda lokasi penadah barang curian, di belakang anda tempat para perampok, pencuri, penjambret, dan pengemis mengatur rencana-rencana masa depan mereka. Sementara di samping kanan anda tempat orang-orang bermain judi.” Jawab seseorang.

"DI mana stand Korupsi?” tanyaku ingin tahu. “Oh, di sini tak ada korupsi. Korupsi, upeti, dan suap tidak termasuk kejahatan di sini. Tidak ada yang sanggup membeli atau menyewa stand korupsi. Kalau pun ada yang mampu, tak ada yang akan membeli korupsi, karena korupsi terlalu mahal bagi kami. Korupsi hanya ada di swalayan yang agak elite. Biasanya di swalayan tertentu di negri ini, adanya biasanya di tempat-tempat pembuatan SIM, tempat-tempat mengurus dokumen, di tempat-tempat mengambil kebijakan, di dekat-dekat proyek, di tempat-tempat rapat anggota dewan, dan di tempat-tempat ibadah. Tapi biasanya tak pernah berbau, tidak seperti di sini.

Aku kembali berjalan menelusuri lorong-lorong sunyi, sendiri…

Tidak ada komentar: