Minggu, 18 Juli 2010

NYANYIAN CINTA YANG SENDU

Suara serangga malam seakan membentuk orkestra alam yang menambah syahdu suasana di malam itu. Menemani Sukma yang tengah menulis surat untuk istrinya. Surat yang akan merubah garis hidupnya. Dia sudah muak dengan gunjingan dan cemoohan tetangga tentang kehidupan ekonominya.

Sukma membaca kembali surat yang baru saja ditulisnya. Entah sudah berapa lembar kertas yang bersarang di tempat sampah yang ada di samping meja kerjanya. 

Dinda, aku mencintaimu setulus hatiku, sepenuh jiwa ragaku. Bahkan cintaku padamu melebihi rasa cintaku kepada Tuhanku. Sungguh!

Kamu tahu, Dinda? Sering aku berhayal memindahkan surga ke dunia hanya untukmu, agar kelak kita bisa bercanda di tamannya bersama anak-anak kita. Dan bila senja datang, kita bercangkrama di beranda istana mungil milik kita sendiri yang berpagar bunga-bunga ajaib tentunya, setelah itu, bila malam diuntai turun kita memadu kasih di peraduan kita yang bertilam sutra.

Tapi sayang, aku terlalu lemah untuk mewujudkan rasa cintaku itu. Jangankan untuk memindahkan surga, membuat kamu tersenyum bahagia pun aku tak mampu. Ternyata besarnya cintaku padamu tak mampu mengubur ketololanku.

Dinda, tahukah kamu? Aku begitu sedih bila melihat pendar indah di mata kamu yang dulu sebelum kita menikah selalu membuatku penasaran karena penuh misteri, kini perlahan tapi pasti mulai meredup karena penderitaan hidup. Ada perasaan berdosa di hatiku bila melihat senyum manismu yang dulu selalu menghadirkan kesejukan di jiwaku kini patah dibebani cerita hidup kita. Aku benar-benar tersiksa oleh rasa bersalah, karena itu semua terjadi di depan mataku tanpa aku mampu berbuat apa apa.

Dinda, terlepas dari kekurangan yang ada pada dirimu, kamu adalah yang terbaik bagi diriku, namun aku bukanlah yang terbaik bagi dirimu. Entah apa yang membuat kamu bertahan hidup denganku setelah apa yang kita lalui selama ini. Pengabdiankah? Rasa cintakah? Ketidakberdayaankah? Bila pengabdian yang membuat kamu bertahan hidup denganku, kamu salah. Karena aku bukanlah tife suami yang pantas menerima pengabdianmu. Aku bukanlah laki-laki suci tanpa dosa. Bila cinta yang menjadi dasar tindakanmu, kamu juga salah karena aku bukanlah laki-laki yang memenuhi syarat untuk mendapat cintamu. Aku tak memiliki apa apa meski itu keberanian sekalipun. Terlalu banyak lelaki yang lebih berhak mendapat cinta sucimu. 

Dan bila ketidakberdayaan yang membuatmu bertahan hidup denganku, itu juga salah. Kamu adalah wanita yang paling tegar yang pernah kutemui selain ibuku. Dengan itu kamu bisa mendapat apa pun dalam hidup ini meski tanpa diriku.

Dinda, kini dadaku penuh sesak dengan rasa bersalah. Kelemahan diri membuatku ingin membebaskanmu dari penderitan hidup dengan memutus hubungan kita, agar kamu bisa terbang lepas mencari cinta sejatimu yang nanti pasti akan mampu menyemaikan pelangi dalam jiwamu dan mempersembahkan surga dan bintang-gemintang padamu. Aku rela , Dinda, meski itu bererti aku akan kesepian karena tak kan lagi mendengar rengekan anak kita dan celotehmu yang lugu dan polos di saat-saat kita akan pergi tidur.

Dinda, setelah kupukir dengan kepala dingin beberapa hari terakhir ini kurasa inilah jalan terbaik satu-satunya yang ada di otakku. Aku berharap kamu tak berprasangka buruk pada diriku. Ini kuputuskan karena aku sudah putus asa dengan penderitaan yang kita alami. Aku tak sanggup melihatmu menderita, terjerat kemiskinan, sungguh! Mungkin hanya dengan cara ini aku bisa sedikit mengurangi kemarahan Tuhan karena menyia-nyiakanmu.

Satu pintaku padamu, jaga anak kita. Didik dia agar kelak menjadi pria tegar yang mampu meredam badai kehidupan. Dan jangan kamu cari aku, karena aku akan pergi jauh mencari takdirku. Bila suatu saat nanti Tuhan menghendaki, aku pasti akan kembali padamu sebagai lelaki baru.

Yang mencintaimu, Sukma…

Sukma menarik napas panjang untuk kemudian menghempaskannya seakan dengan itu ia melepaskan beban berat yang memenuhi rongga dadanya. 

Setelah dirasanya pas isi dan susunan kalimatnya, surat itu pun dilipat dan diletakannya meja kecil, di samping tempat tidur di mana biasanya Yanti melihat jam beker begitu ia terbangun.

Sukma segera berkemas tanpa sepengetahuan Istrinya, Yanti, yang tengah tertidur pulas karena kelelahan setelah seharian berkutat dengan urusan-urusan rumah tangga. Ada sedikit rasa haru di hati Sukma saat dia melihat Dewa, anaknya yang baru berumur satu tahun, tersenyum dalam tidurnya.

“Maafkan Ayah, Nak,” bisiknya di telinga Dewa. Bocah tersebut beringsut sedikit. 

Untuk terakhir kali Sukma mengecup kening anaknya sebelum pergi meninggalkan semua yang membebaninya itu. Sementara malam semakin layu di pagut dini dan terus merangkak berusaha menghindari takdirnya yang tak terelakan. Direnggut pagi.

Yanti terbangun oleh suara beker yang di stel pukul 4.30. Dia memang biasa bangun pagi untuk melaksanakan rutinitasnya, mencuci pakaian, dan menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya. Tapi pagi itu dia terkejut saat mendapati Sukma tak ada di sampingnya. Terlebih di saat matanya membentur secarik kertas terlipat rapi yang tersandar menutupi jam beker. Dengan hati bertanya-tanya dibuka dan dibacanya surat itu

Yanti terhenyak, tubuhnya terasa lemas, tangannya gemetar. Air matanya tak kuasa lagi ia bendung. Dia tak habis pikir dengan apa yang telah dibacanya. Apa yang salah pada diriku, Bang? batinnya. Selama ini aku tak pernah menuntut banyak pada dirimu. Bila kemarin malam aku tak dapat menahan emosi itu karena Ibu Haji selalu datang menagih uang kontrakan yang belum kita bayar selama dua bulan terakhir. Kenapa kamu tega meninggalkan diriku, Bang?

Oh, Tuhan, apa yang harus kulakukan? Apa salahku padanya? Apakah karena pertengkaran kami kemarin malam?

Terbayang di matanya pertengkaran dengan Sukma kemarin malam.

“Kamu pikir aku nggak menderita, apa? Bertahun-tahun aku hidup sama kamu, bisa kuhitung dengan jari berapa kali kamu memberi uang belanja padaku. Kesabaranku ada batasnya, Bang! Yanti meradang. Air matanya tak sanggup lagi di tahan. Ia pun menangis sesungukan.

“Tapi, Mah. Aku kan gak tinggal diam berpangku tangan. Aku tetap berusaha. Kamu kan tahu sendiri, zaman lagi krisis begini cari kerja susah. Lagian aku gak macam-macam. Kamu harus mengertiin aku, dong. Tulisanku kan belum ada yang dimuat.”

Ah, maafkan aku, bang. Waktu itu aku begitu lelah setelah menjaga anak kita, sementara kamu terlalu asik dengan cerpen-cerpen kamu itu. Kamu sebentar pun tak mau menggendong Dewa. Ditambah lagi dengan orang-orang yang datang menagih utang pada kita. Kamu tak merasakan malunya karena kamu jarang ada di rumah. Tetapi aku, setiap hari aku menerima tatapan kasihan, kadang cacian dari tetangga-tetangga kita.

***

Yanti tengah merenungi perjalanan hidupnya yang penuh dengan penderitaan. Sudah beberapa hari ini, semenjak kepergian Sukma entah sudah berapa orang yang datang menagih utang kepadanya.

Semenjak menikah dengan Sukma hidupnya memang berubah seratus delapan puluh derajat. Tak ada lagi keceriaan, kecuali beberapa bulan pertama di tahun-tahun pernikahannya. Selebihnya adalah penderitaan-penderitaan, dari mulai jarang pulangnya Sukma, barang-barang yang habis terjual untuk biaya hidup karena memang Sukma belum bekerja, sampai pada bentakan dan makian dari Kolektor-kolektor yang menagih hutang pada Sukma. 

Entah apa saja kegiatan Sukma di luar sana, Yanti tak pernah tahu. Bila ditanya jawabannya selalu sama. Kumpul dengan komunitas penulis di TIM. Padahal sebelum mengenal Sukma dia adalah gadis periang yang hidup serba kecukupan. Hidup berbahagia dengan kedua orang tua yang sangat menyayanginya.

Terbayang kembali di matanya episode-episode indah yang tak terlupakan dalam hidupnya. Episode terbaik yang diberikan Tuhan kepada dirinya. Mah, Pah, maafkan Yanti. Mungkin kalau saja waktu itu Yanti menuruti nasehat kalian semua ini tidak akan terjadi.

Yanti meraih gelas berisi air bening yang ada di meja. Ditatapnya butir-butir putih kecil yang ada di tangan kirinya, dimasukan semua ke dalam mulutnya. Dengan bantuan air diteguknya butir-butir putih itu. Terbayang di matanya Sosok yang memberi warna ceria, muram, dan pelangi yang indah dalam hidupnya. Sosok Sukma. Terbayang semua saat-saat indah bersamanya.

Aku mencintaimu, Bang, sangat mencintaimu. Aku rela menukar apapun yang kumiliki untuk mengembalikan dirimu kepadaku…

Yanti merebahkan tubuhnya di samping Dewa yang terbujur tanpa suara. Dipeluknya anak itu seakan tak ingin dilepaskan sambil menunggu tangan-tangan gaib menjemput mereka berdua.

“Maafkan Ibu, Nak. Di sini kita tak punya siapa-siapa lagi. Kita tunggu Ayah di tempat dulu kita sering bercanda bersama, ya….” Bisik Yanti di telinga anaknya itu. Air mata yang sedari tadi membentuk anak sungai di pipinya, mengalir deras membasahi dan menodai sprai putih bersih yang rajin dicucinya.

Dinikmatinya sensasi yang perlahan-lahan datang memenuhi kesadarannya, seperti kabut lembut yang perlahan tapi pasti mengaburkan pandangannya. Yang lantas tiba-tiba menjadi sinar terang yang menyilaukan sesaat untuk kemudian perlahan kembali meredup , redup, menyisakan setitik dan lantas gelap selamanya.

***

Sementara itu, nun jauh di sana, di salah satu villa di kawasan puncak, Jabar. Sukma tengah asyik bercenggkrama dengan Rindu, wanita cantik, muda, kaya, dan menggairahkan.

“Kenapa kau meninggalkan istri dan anakmu, Bang?”

“Dia tak pernah menghargai profesi yang kupilih. Lagi pula aku sudah muak dengan kebodohan dan ketidakberdayaannya. Kamu tau sendiri ‘kan? Orang seperti itu seperti ‘bom waktu’. Aku juga muak dengan sikapnya yang kampungan,” jawab Sukma. “Gak kaya kamu, tegar, mandiri, pintar dan mencintaiku. Aku bisa lihat di matamu ada cinta yang membara, yang bila suatu saat nanti padam kamu tak’kan ragu-ragu dan takut dengan segala tetek bengek etika, tradisi, dan norma, untuk meninggalkan aku. Sungguh. Itu yang kusuka dari kamu.”

“Anakmu, Bang?"

“Ah, aku juga tidak begitu suka dengan anakku. Jiwanya terlalu lemah. Aku ingin anak lelaki yang gagah dan tegar dari kamu, Sayang…” bisik sukma di telinga rindu…

Malam terus berkelana mencari cinta sejatinya sambil menaburkan bunga-bunga tidur di pembaringan jiwa-jiwa yang tengah resah.

Tidak ada komentar: